Griya Wijilan 2020 Guide Book

Adi
Griya Wijilan 2020 Guide Book

Food scene

Gudeg Yu Djum Pusat merupakan dapur utama sekaligus warung makan kuliner tradisional Yogyakarta, dirintis oleh seorang yang pantang menyerah bernama Djuwariyah atau lebih dikenal sebagai “Yu Djum”, sejak tahun 1951. Djuwariyah lahir dari keluarga yang terlebih dahulu memiliki bisnis kuliner khas Jogja yaitu Gudeg. Sejak remaja, ia mempunyai cita-cita membangun sebuah rumah makan gudeg miliknya sendiri. Djuwariyah bertekad mewujudkan cita-citanya secara perlahan dengan menjual rumput untuk pakan ternak para tetangga yang berada disekitar rumahnya sebagai modal awal untuk membeli peralatan dan segala macam kebutuhan memasak gudeg. Pertama kali Djuwariyah menjajakan gudeg buatannya di Kampung Widjilan tepatnya di sebelah selatan Pelengkung Widjilan, saat itu masih berupa lapak kecil dengan meja dan kursi yang sangat sederhana, sedangkan dapur tempat memasak gudeg berada di Kampung Karangasem – Mbarek, Jalan Kaliurang KM 4,5 CT III/22. Djuwariyah pantang menyerah menjajakan dagangan gudegnya, dengan menggunakan becak pulang-pergi sedikit demi sedikit terkumpul modal untuk membeli tanah dan bangunan rumah. Pada tahun 1985, warung makan Gudeg Yu Djum dibuka di Widjilan. Penggunaan nama Yu Djum berawal dari para pelanggan yang sering memanggil “Yu” yang merupakan singkatan dari mbakyu (panggilan untuk orang yang lebih tua khusus perempuan dalam bahasa Jawa) dan “Djum” yang merupakan nama pendek dari Ibu Djuwariyah itu sendiri. Dari tahun ke tahun Gudeg Yu Djum mulai dikenal oleh masyarakat Jogja dan sekitarnya. Seiring berkembangnya zaman, pada tahun 1993 dapur utama yang terletak di Kampung Karangasem difungsikan pula sebagai warung makan untuk berjualan gudeg, karena fungsinya sebagai dapur dan warung yang berlokasi di Kampung Karangasem ini disebut sebagai Gudeg Yu Djum Pusat. Hingga saat ini perkembangan warung makan Gudeg Yu Djum semakin pesat. Beberapa cabang sudah dibangun untuk memenuhi kebutuhan para pelanggan di beberapa lokasi yang mudah dijangkau dan cenderung strategis.
29 lokale anbefaler
Gudeg Yu Djum Wijilan 167
No.167 Jl. Wijilan
29 lokale anbefaler
Gudeg Yu Djum Pusat merupakan dapur utama sekaligus warung makan kuliner tradisional Yogyakarta, dirintis oleh seorang yang pantang menyerah bernama Djuwariyah atau lebih dikenal sebagai “Yu Djum”, sejak tahun 1951. Djuwariyah lahir dari keluarga yang terlebih dahulu memiliki bisnis kuliner khas Jogja yaitu Gudeg. Sejak remaja, ia mempunyai cita-cita membangun sebuah rumah makan gudeg miliknya sendiri. Djuwariyah bertekad mewujudkan cita-citanya secara perlahan dengan menjual rumput untuk pakan ternak para tetangga yang berada disekitar rumahnya sebagai modal awal untuk membeli peralatan dan segala macam kebutuhan memasak gudeg. Pertama kali Djuwariyah menjajakan gudeg buatannya di Kampung Widjilan tepatnya di sebelah selatan Pelengkung Widjilan, saat itu masih berupa lapak kecil dengan meja dan kursi yang sangat sederhana, sedangkan dapur tempat memasak gudeg berada di Kampung Karangasem – Mbarek, Jalan Kaliurang KM 4,5 CT III/22. Djuwariyah pantang menyerah menjajakan dagangan gudegnya, dengan menggunakan becak pulang-pergi sedikit demi sedikit terkumpul modal untuk membeli tanah dan bangunan rumah. Pada tahun 1985, warung makan Gudeg Yu Djum dibuka di Widjilan. Penggunaan nama Yu Djum berawal dari para pelanggan yang sering memanggil “Yu” yang merupakan singkatan dari mbakyu (panggilan untuk orang yang lebih tua khusus perempuan dalam bahasa Jawa) dan “Djum” yang merupakan nama pendek dari Ibu Djuwariyah itu sendiri. Dari tahun ke tahun Gudeg Yu Djum mulai dikenal oleh masyarakat Jogja dan sekitarnya. Seiring berkembangnya zaman, pada tahun 1993 dapur utama yang terletak di Kampung Karangasem difungsikan pula sebagai warung makan untuk berjualan gudeg, karena fungsinya sebagai dapur dan warung yang berlokasi di Kampung Karangasem ini disebut sebagai Gudeg Yu Djum Pusat. Hingga saat ini perkembangan warung makan Gudeg Yu Djum semakin pesat. Beberapa cabang sudah dibangun untuk memenuhi kebutuhan para pelanggan di beberapa lokasi yang mudah dijangkau dan cenderung strategis.
The North Square of Yogyakarta is an important part of the Yogyakarta Palace. This place spans an area of ​​300 x 300 square meters. Overgrown with green grass whose freshness is influenced by the season. There is a banyan tree in the middle of the square. From the edge of the square, there is a paved road to get to the two banyan trees. Where the banyan is also fenced with a sturdy fence painted white. On the edge of the square is bordered by a sidewalk which can also be a pedestrian arena. The size of this place is often used as a play area for children. Where they are engrossed in running chasing in this wide grass. Read: VREDEBURG Fortress Museum Tickets & Collections Kurung Banyan Tree and Its Philosophy The North Square of Jogja is famous for its philosophical banyan trees. One of them is banyan brackets, where the brackets mean given a fence. There are a total of 64 banyan trees here, 2 of which are right in the middle. The two banyan brackets in the middle are named Kiai Dewadaru and Kiai Janadaru. Kiai Janadaru is now named Kiai Wijayadaru, whose seed comes from the Pajajaran Palace. Meanwhile, Kiai Dewadaru originated from the Majapahit Palace. Kiai Dewadaru comes from the word "Dewa" which means God, and "Ndaru" which means revelation. This tree is to the west of the philosophical axis, along with the Gedhe Mosque. Where has a philosophy of describing the relationship between humans and God. Meanwhile, Kiai Janadaru means straightforward human tree, along with Beringharjo Market on the east side. This symbolizes the relationship between humans and humans.
7 lokale anbefaler
Alun Alun Utara
Jalan Alun-Alun Utara
7 lokale anbefaler
The North Square of Yogyakarta is an important part of the Yogyakarta Palace. This place spans an area of ​​300 x 300 square meters. Overgrown with green grass whose freshness is influenced by the season. There is a banyan tree in the middle of the square. From the edge of the square, there is a paved road to get to the two banyan trees. Where the banyan is also fenced with a sturdy fence painted white. On the edge of the square is bordered by a sidewalk which can also be a pedestrian arena. The size of this place is often used as a play area for children. Where they are engrossed in running chasing in this wide grass. Read: VREDEBURG Fortress Museum Tickets & Collections Kurung Banyan Tree and Its Philosophy The North Square of Jogja is famous for its philosophical banyan trees. One of them is banyan brackets, where the brackets mean given a fence. There are a total of 64 banyan trees here, 2 of which are right in the middle. The two banyan brackets in the middle are named Kiai Dewadaru and Kiai Janadaru. Kiai Janadaru is now named Kiai Wijayadaru, whose seed comes from the Pajajaran Palace. Meanwhile, Kiai Dewadaru originated from the Majapahit Palace. Kiai Dewadaru comes from the word "Dewa" which means God, and "Ndaru" which means revelation. This tree is to the west of the philosophical axis, along with the Gedhe Mosque. Where has a philosophy of describing the relationship between humans and God. Meanwhile, Kiai Janadaru means straightforward human tree, along with Beringharjo Market on the east side. This symbolizes the relationship between humans and humans.

Neighborhoods

Once upon a time, the south central part of Java was an Islamic kingdom called Mataram. This kingdom was centered in Kota Gede, Yogyakarta Special Region and then moved to Kerta, Plered, Kartasura and Surakarta. Internal conflicts and Dutch colonial intervention triggered the break-up of the leadership of the Mataram Kingdom. Disputes arose from two schools, namely Prabasuyasa or Pakubuwana III with Raden Mas Said and Mangkubumi. After a long period of conflict, they finally agreed to sign the Giyanti agreement. The Giyanti Agreement was signed on February 13, 1755. In this agreement, the Mataram kingdom will be divided into two parts. The Surakarta Hadiningrat Sunanate is led by Pakubuwana III. Meanwhile, the Sultanate Ngayogyakarta led by Mangkubumi with a lane I . The territory of the Ngayogyakarta Sultanate is the city of Yogja and its surroundings, Pajang, Demak, Kulonprogo, Gunung Kidul and its surroundings. That is the history of the Yogyakarta Palace. We know that there are two Javanese sultanates, namely Keraton Yojga and Keraton Surakarta. This is often heard during a study tour to Yogja and its surroundings. Both have distinctive and distinct characteristics and cultures including dress code, customs, language, gamelan, dances, and so on. All of that is now a special attraction that continues to be preserved.
62 lokale anbefaler
Kraton
62 lokale anbefaler
Once upon a time, the south central part of Java was an Islamic kingdom called Mataram. This kingdom was centered in Kota Gede, Yogyakarta Special Region and then moved to Kerta, Plered, Kartasura and Surakarta. Internal conflicts and Dutch colonial intervention triggered the break-up of the leadership of the Mataram Kingdom. Disputes arose from two schools, namely Prabasuyasa or Pakubuwana III with Raden Mas Said and Mangkubumi. After a long period of conflict, they finally agreed to sign the Giyanti agreement. The Giyanti Agreement was signed on February 13, 1755. In this agreement, the Mataram kingdom will be divided into two parts. The Surakarta Hadiningrat Sunanate is led by Pakubuwana III. Meanwhile, the Sultanate Ngayogyakarta led by Mangkubumi with a lane I . The territory of the Ngayogyakarta Sultanate is the city of Yogja and its surroundings, Pajang, Demak, Kulonprogo, Gunung Kidul and its surroundings. That is the history of the Yogyakarta Palace. We know that there are two Javanese sultanates, namely Keraton Yojga and Keraton Surakarta. This is often heard during a study tour to Yogja and its surroundings. Both have distinctive and distinct characteristics and cultures including dress code, customs, language, gamelan, dances, and so on. All of that is now a special attraction that continues to be preserved.